Pages

Sunday, March 25, 2012

Daftar Sekolah Ikatan Dinas

Sekolah Ikatan Dinas ....di Indonesia
Jangan pernah kamu menyalahkan nasib, itu tidak baik bagi dirimu yang merdeka. Merdeka itu yang membuatmu tidak secermat orang yang tidak menyalahkan nasib, karena wawasan dan pandangan serta ilmu diselimuti kesungguhan yang membuat dia mencapai tujuan tersebut.


Untuk mempermudah silahkan tekan Ctrl + F (lalu ketik nama sekolah yang Anda inginkan) untuk mencari sekolah ikatan dinas (kedinasan) yang Anda cari.


Daftar Sekolah Ikatan Dinas (Kedinasan) di Indonesia


1. Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah Kementerian

Kementerian Dalam Negeri
  • Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), gabungan dari STPDN dan IIP

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
  • Akademi Minyak dan Gas Bumi (Akamigas), Cepu, Blora, Jawa Tengah

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
  • Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), Gandul (Cinere, Kota Depok, Jawa Barat
  • Akademi Imigrasi (AIM)

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
  • Akademi Pariwisata Medan
  • Akademi Pariwisata Makasar
  • Akademi Pariwisata Bandung
Kementrian Keuangan
  • Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Kabupaten Tangerang Selatan

Kementerian Kelautan dan Perikanan
  • Sekolah Tinggi Perikanan (STP), Jakarta, DKI Jakarta
  • Akademi Perikanan Bitung (APB), Bitung, Sulawesi Utara
  • Akademi Perikanan Sidoarjo, (APS), Sidoarjo, Jawa Timur
  • Akademi Perikanan Sorong, (APSOR), Sorong, Papua Barat
  • Sekolah Tinggi Perikanan Bogor,(STP Jurluhkan), Bogor, Jawa Barat
  • Bagian Administrasi Pelatihan Perikanan Lapangan Serang, (BAPPL Serang), serang, Banten
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Ladong, (SUPM N Ladong), Nanggoe Aceh Darussalam
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Pariaman, (SUPM N Pariaman), Pariaman, Sumatera Barat
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Tegal, (SUPM N Tegal),Tegal, Jawa Tengah
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Bone, (SUPM N Bone), Bone, Sulawesi selatan
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Kota Agung, (SUPM N Kota Agung), Kota Agung, Lampung
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Pontianak, (SUPM N Pontianak), Pontianak, Kalimantan Barat
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Waeheru, (SUPM N Waeheru), Maluku, Ambon
  • Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Sorong, (SUPM N Sorong), Sorong, Papua

Kementrian Kesehatan
  • Akademi Fisioterapi Surakarta, Jawa Tengah
  • Akademi Keperawatan
  • Akademi Teknik Medik

Kementrian Perhubungan
  • Sekolah Tinggi Transportasi Darat Bekasi, Jawa Barat
  • Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, DKI Jakarta
  • Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Jawa Barat
  • Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan Medan, Sumatra Utara
  • Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan Surabaya, Jawa Timur
  • Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan Makassar, Sulawesi Selatan
  • Akademi Perkeretaapian Madiun, Jawa Timur
  • Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran tangerang, banten
  • Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar, Sulawesi Selatan
  • Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang, Jawa Tengah
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nusantara Untuk Siswa (stie-NUS) klaten, Jawa tengah

Kementerian Perindustrian

  • Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung (ST3), Bandung, Jawa Barat
  • Sekolah Tinggi Manajemen Industri Jakarta (STMI), Jakarta, DKI Jakarta
  • Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta (ATK), Yogyakarta, DIY
  • Akademi Pimpinan Perusahaan Jakarta (APP), Jakarta
  • Akademi Teknologi Industri Padang (ATIP), Padang, Sumatra Barat
  • Akademi Teknik Industri Makassar (ATIM), Makassar, Sulawesi Selatan
  • Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan (PTKI), Medan, Sumatra Utara
  • Akademi Kimia Analisis Bogor (AKA), Bogor, Jawa Barat

Kementrian Pertahanan Nasional
  • Akademi Militer (TNI Angkatan Darat), Magelang, Jawa Tengah
  • Akademi Angkatan Laut (TNI Angkatan Laut), Surabaya, Jawa Timur
  • Akademi Angkatan Udara (TNI Angkatan Udara), Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (TNI Angkatan Laut), Surabaya, Jawa Timur
  • Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Darat (TNI Angkatan Darat), Malang, Jawa Timur
  • Kementrian Pertanian, Kementerian Perkebunan, dan Kementerian Kehutanan
  • Politeknik LPP Yogyakarta (PLPP), Yogyakarta, DI Yogyakarta
  • Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agribisnis Perkebunan (STIP-AP), Medan, Sumatera Utara
  • Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Medan (STPP Medan), Medan, Sumatera Utara
  • Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang (STPP Magelang), Magelang, Jawa Tengah
  • Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Gowa (STPP Gowa), Makassar, Sulawesi Selatan
  • Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Malang (STPP Malang), Malang, Jawa Timur
  • Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor (STPP Bogor), Bogor, Jawa Barat

Kementrian Sosial
  • Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Bandung, Jawa Barat

Daftar Sekolah Ikatan Dinas (Kedinasan) di Indonesia

2. Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah Lembaga Pemerintah Nonkementerian

Badan Intelijen Negara
  • Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), Sentul,Bogor, Jawa Barat

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
  • Akademi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (AMKG), Pd. Betung (Bintaro, Tangerang, Banten)

Badan Pertanahan Nasional
  • Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta

Badan Pusat Statistik
  • Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), Jakarta

Badan Tenaga Nuklir Nasional
  • Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN), Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta

Lembaga Administrasi Negara
  • Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara - Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN), Bandung, Jawa Barat

Lembaga Sandi Negara Republik Indonesia

  • Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN), Bogor, Jawa Barat


3.  Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah Kepolisian Negara Republik Indonesia
  • Akademi Kepolisian (Akpol), Semarang, Jawa Tengah

Demikian  Daftar Sekolah Ikatan Dinas (Kedinasan) di Indonesia. Semoga bermanfaat bagi Anda.

Anak Bangsa Berkiprah dengan jalan menjadi Penemu :
http://indonesiaprofile-s.blogspot.com/2012/03/anak-bangsa-berkiprah.html
READ MORE - Daftar Sekolah Ikatan Dinas

Thursday, March 15, 2012

Maruni Wiwin Diarti - Penemu Senyawa Antimikroba dari Rumput Laut


MARUNI WIWIN DIARTI - Penemu Senyawa Antimikroba dari Rumput Laut

Seperti halnya makhluk hidup lain di jagat raya ini, sifat antagonismenya beragam spesies bakteri juga sebuah keniscayaan. Namun bagaimana sifat penentangan maupun perlawanan antar bakteri itu “didamaikan” agar bermanfaat bagi orang banyak. Khususnya bagi dunia kedokteran, bukan hal mudah untuk diwujudkan. Namun, Maruni Wiwin Diarti (Wiwin) justru tertantang oleh kesulitan itu. Lewat kajiannya, warga Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini berhasil menemukan obat anti mikroba dari bakteri rumput laut, kemudian mendapat Anugerah Teknologi Terapan dari Pemerintah Provinsi NTB, Desember 2003 di Mataram.

Menurut staf pengajar Akademi Analis Kesehatan (AAK) Mataram ini, adanya antagonisme di antara bakteri laut sudah diketahui. Namun, sangat sedikit penelitian yang mengeksplorasi keragaman bakteri laut di Indonesia untuk penemuan bahan baku obat anti mikroba baru. Salah satu penyebabnya keterbatasan dana untuk kegiatan penelitian itu. Penelitian awal sudah saya lakukan pada tahun 1999, namun sempat terhenti karena tidak cukup biaya. Saya kirim proposal penelitian ke Bappeda NTB, tetapi tidak ada jawaban sebab saat itu sedang terjadi krisis moneter. Penelitian berjalan lagi pada tahun 2001 dan selesai dua tahun tahun kemudian,” kata Wiwin menyebut lembaga penyandang dana penelitiannya.

Dia juga dibantu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Riset Pembinaan Iptek Kedokteran Departemen Kesehatan. Belum tergalinya potensi laut Indonesia yang luar biasa banyaknya itu menjadi alasan lain Wiwin melakukan riset. Selain itu, banyak bakteri klinis yang resistan terhadap beberapa produk anti biotik sehingga perlu dicari sumber anti biotik baru yang secara finansial dapat dijangkau rakyat kecil. Dari telusur pustaka, lulusan Fakultas Biologi Universitas Islam Al-Azhar, Mataram, tahun 1996 ini memilih rumput laut Thalassia hemprichii yang kemudian diketahui memproduksi senyawa anti bakteri. Lokasi penelitiannya di Pantai Gerupuk, kawasan wisata Kute, Lombok Tengah, dimana masyarakat pesisir membudidayakan rumput laut sebagai sumber penghasilan alternatif.

Di tempat ini terdapat 11 jenis bakteri aerob, dan dia memilih meneliti Thalassia hemprichii. Rumput laut itu diambil bagian akar, batang, dan daunnya, lalu di masukkan ke dalam kantong plastik steril berisi air laut, lalu disimpan dalam kotak pendingin untuk uji laboratorium. Kultur primer rumput laut itu ditanam bagian akar, batang, dan daunnya pada permukaan lempeng NASW (Nutrient Agar Sea Water) bertemperatur 20 derajat selama 48 jam. Tiap koloni yang muncul dimurnikan, diidentifikasi secara konvensional berdasarkan karakteristik morfologi, biakan, biokimia, dan resistansi antibiotik. Setelah dilakukan pemurnian, rumput laut yang sudah jadi ekstrak itu diteteskan pada kertas filter steril dan di lakukan proses uji kadar hambatan minimal. Pada tahap ini diketahui senyawa hasil pemurnian memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri isolat klinis oleh senyawa bio-aktif dengan zona penghambatan 12 mm - 18 mm, tidak bersifat racun karena sampai dosis mikrogram per miligram tidak menyebabkan matinya hewan coba, dan potensinya 100 persen bisa menyembuhkan infeksi bakteri. Obat antimikroba dari bahan baku rumput laut itu bukan penelitian pertama perempuan kelahiran tanggal 15 Januari 1974 di Selong, ibu kota Lombok Timur. Sebelumnya Wiwin meneliti efek Helicobacter pylori (H pylori), penyebab penyakit lambung gastritis kronis aktif, dan pengaruh telur ayam terhadap H pylori.

Obat alternatif ini mungkin lebih murah mengingat obat infeksi lambung yang relatif mahal, kemudian banyak produk obat antibiotik berbahan kimia resistan terhadap H pylori. Jika bahan baku obat senyawa aktif biofisik bisa dimanfaatkan, dampak positifnya, antara lain, pada dunia farmasi dan mengangkat posisi tawar dan nilai jual sumber daya alam (SDA) Indonesia, seperti rumput laut dan telur ayam, menjadikan pendapatan petani terdongkrak. Itu memang cita-cita, tetapi yang lebih penting adalah menggali potensi SDA di Nusantara yang masih tersembunyi itu untuk diteliti bagi kepentingan orang banyak. Wiwin punya bekal untuk itu. “Saya suka meneliti yang mikro-mikro sebab selain tertarik, juga basis saya adalah analis kesehatan,” ujar istri Yunan Jiwintarum yang juga karyawan di AAK Mataram itu.

“Ini bidang penelitian potensial, namun amat sedikit orang mau menekuninya, malah yang mengincar potensi darat dan laut Indonesia adalah pihak asing. Kalau tidak proaktif dan berinisiatif, ya kita cuma jadi penonton.” tambahnya. Komitmen dan kesukaan seperti itu ditopang pula oleh lingkungan Wiwin sebab, kecuali mengajar, dia juga menjadi peneliti pada Unit Riset Biomedik (URB) Rumah Sakit Umum Mataram. Di sini ada peneliti senior Prof Dr dr Soewignjo Sumohardjo, pakar gastroentero hepatologi, yang membimbing, memberi dukungan moral dan material bagi ibu seorang anak itu.

Karena kemudahan yang disediakan itu maka setiap kali melakukan kegiatan penelitian, Wiwin turun membawa bendera URB Rumah Sakit Umum Mataram tadi. Wiwin agaknya belum puas dengan hasil yang diraihnya selama ini. Malah berbagai hal yang acapkali mengganggu kesehatan alat reproduksi perempuan tidak luput dari perhatiannya. Untuk itu, direncanakan pada bulan Mei ini dia bersama timnya mulai turun ke lapangan. Dia akan meneliti pemanfaatan alga untuk uji penapisan anti jamur infeksi kandida yang menyebabkan kanker mulut rahim pada perempuan. Biaya penelitian itu disponsori Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia yang membantu pendanaan kegiatan sebesar Rp 40 juta.

Sumber: Harian Kompas, 12 Mei 2004.

ANAK BANGSA BERKIPRAH DALAM DUNIA PENEMUAN
READ MORE - Maruni Wiwin Diarti - Penemu Senyawa Antimikroba dari Rumput Laut

M. Djoko Srihono - Penemu Penjernih Air Limbah


M. DJOKO SRIHONO - Penemu Penjernih Air Limbah

Pria ini lahir di Surakarta (Jawa Tengah) pada 13 Maret 1946. Sejak kecil gemar mengamati dan meneliti. Pada suatu pagi, ia memperhatikan ibunya yang sedang memasak. Diperhatikannya, bila sayur yang dimasak ibunya terlalu asin maka ibunya akan menambahkan kentang ke dalam sayur itu. Tersimpul dalam pikirannya, ternyata kentang bisa mengurangi rasa asin. Lalu ia mencoba membuat sendiri sari kentang yang kemudian ia pakai untuk mengurangi rasa asin. Ternyata keasinan tidak berkurang. Perhatiannya beralih pada pati kentang yang digunakan untuk membuat sari kentang tadi. Maka kemudian tepung pati kentang dicobanya, ternyata berhasil.

Adalah suatu budaya yang lazim, para lelaki di lingkungannya memelihara burung perkutut. Setiap sangkar burung biasanya memiliki tempat air minum dan biasanya diberi tumbuhan patah tulang (Eforbia ferocalli). Hal ini menarik perhatiannya. Kemudian ia mengetahui bahwa pemberian jenis tumbuhan tsb ternyata dapat mencegah timbulnya bau akibat kontaminasi air dan makanan burung. Ia tidak berhenti sampai di situ. Ia pun mencoba dengan berbagai tumbuhan lainnya. Jelaslah, ia sudah memiliki bakat dan perhatian untuk menjadi inovator.

Pendidikan yang dijalani mengantarnya sampai ke jenjang perguruan tinggi, yaitu Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Di sini ia bertemu dengan seorang teman yang juga gemar meneliti. Temannya ini seorang perokok berat. Karena uang sakunya tak mencukupi, terpaksa kadangkala mengkonsumsi tembakau bekas puntung rokok yang harganya lebih murah. Tentu saja yang murah belum tentu nikmat. Itulah yang terjadi pada tembakau bekas itu. Namanya saja bekas, sehingga rasa bekas sukar hilang dari tembakau itu. Jadilah sepasang sahabat ini meneliti cara menghilangkan rasa bekas dari tembakau puntung rokok itu.

Fakultas farmasi membuatnya mengerti kimia dan membukakan pintu untuk meneliti apapun. Tak kurang dari itu, ia jadi mengetahui hampir semua sifat dari senyawa kimia yang ada. Kalaupun ada yang belum sempat diketahuinya, itu adalah kimia polimer. Tetapi itu tidak mengurangi kreatifitasnya. Kali berikutnya, ia dihadapkan pada masalah pengadaan air.

Banyak masyarakat di Indonesia dihadapkan pada masalah pengadaan air. Banyak pula diantara mereka terpaksa menggunakan air permukaan seperti air rawa/gambut, sungai, telaga dan air genangan/kubangan. Ini biasanya terjadi di daerah Kalimantan, Riau, Papua, Bangka dan sebagainya. Penggunaan air yang demikian secara higienis tentu tidak layak. Selain masalah ketercemaran air oleh zat kimia dan jasad renik yang merugikan, air tersebut juga tidak jernih.

Untuk menjernihkan air, cara yang biasa dipakai adalah menggunakan tawas dan kapur yang bisa mengendapkan kotoran pengeruh air. Tetapi masalahnya tidak semua air bisa dijernihkan dengan cara itu, misalnya air rawa/gambut yang berwarna coklat kemerahan. Lagipula tawas adalah bahan kimia yang tidak selalu tersedia di pedesaan Indonesia. Terlebih lagi kapur yang diperlukan untuk menurunkan kadar asam (pH) air rawa/gambut hingga layak guna.

Berangkat dari masalah yang ada itu, mulailah ia mencari kemungkinan penggunaan bahan lokal yang bisa digunakan. Inilah cara unik dari Djoko yang lulusan fakultas farmasi. Ia berimajinasi. Jadilah proses uji coba dan reaksi yang biasanya di laboratorium berpindah ke laboratorium imajinerdi otak Djoko. Ia cukup mengkhayalkan: bahan kimia ini yang sifatnya begini direaksikan dengan bahan kimia itu yang sifatnya begitu maka diperkirakan hasil reaksinya adalah anu. Setelah cukup yakin dengan imajinasinya itu, barulah ia melakukan percobaan reaksi yang sesungguhnya. Imajinasi ini tentunya ditunjang oleh pengetahuan yang memadai tentang sifat-sifat berbagai senyawa kimia yang diketahuinya semasa kuliah. Dengan cara demikian ia menghemat biaya yang biasanya diperlukan untuk pengadaan alat dan bahan percobaan.

Menurut Djoko, biasanya orang masih menggunakan tawas atau ferri klorida (FeCl3) untukmenjernihkan air. Memikirkan tentang penjernihan air membawanya kepada suatu logika. Logika ini menurut Djoko belum terpikirkan orang lain yang berkecimpung di masalah penjernihan dan pemurnian air. Yaitu bahwa pada dasarnya kekeruhan air disebabkan oleh senyawa kimia, karena itu penting sekali dipahami bentuk molekul senyawa tersebut untuk kemudian dicari gugus molekul yang bisa “diganggu”. Kalau gugus molekul itu bisa “diganggu” maka keseluruhan molekul senyawa akan goyah. Bila ini terjadi maka pengotor itu bisa dipisahkan dari air dan air menjadi jernih.

Dengan logika seperti itu, Djoko cukup optimis untuk mengatakan, “Sanggup menjernihkan air limbah apa saja kecuali limbah nuklir dan limbah polimer karena saya belum belajar tentang itu”.

Penjernih air sebagai solusi, menurut pandangannya harus memenuhi syarat: mudah dan murah. Mudah berarti tidak diperlukan keahlian khusus dan prosedur yang rumit untuk melaksanakannya. Murah berarti biaya yang diperlukan relatif tidak mahal. Memang itulah kenyataannya. Djoko menjelaskan untuk menjernihkan air sebanyak 1 m3 (1.000 liter) dibutuhkan 2 gram formula penjernih temuannya. Bandingkan dengan pemakaian 200 gram air kapur yang diperlukan untuk mengolah air gambut sebanyak jumlah yang sama.

Tidak hanya formula penjernih, tetapi Djoko juga telah merancang alat yang digunakan untuk menjernihkan air. Alat tersebut berupa tabung atau pipa pencampur terbuat dari bahan PVC atau paralon sepanjang + 50 cm dengan tiga lobang yang diberi tiga selang plastik. Ketiga selang tersebut nantinya masing-masing untuk dihubungkan dengan larutan formula penjernih, larutan tawas dan larutan kaporit sebagai disinfektan bila diperlukan.

Sumber: Majalah Zaitun Khatulistiwa, Agustus 2005.
READ MORE - M. Djoko Srihono - Penemu Penjernih Air Limbah

Lalu Selamat Martadinata - Penemu Alat Pemanggil Ikan

LALU SELAMAT MARTA DINATA - Penemu Alat Pemanggil Ikan

Memanggil ikan di laut agar mendekat biar gampang terperangkap jaring maupun jala nelayan mungkin masih langka. Lalu Selamat Marta Dinata alias Memet (23) bisa menjawab kelangkaan itu. Dengan alat bikinannya yang mengeluarkan suara dan cahaya, ikan ditanggung bakal mendekati bunyi dan sinar itu.

"Saya sebut saja 'API' (alat pemanggil ikan), daripada susah-susah mikir," ujar Memet mengenai nama rakitannya itu.

API terbuat dari komponen yang biasa digunakan sebagai bahan baku produk elektronik, seperti transistor frekuensi rendah, transformer (trafo frekuensi), piezo (penghasil/pengatur tingkat suara), kapasitor elektrolit dengan kertas sebagai filter RC (resistor-capasitor), dan lampu led super yang memproduksi suara.

Perangkat itu dilengkapi baterai, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kedap air terbuat dari plastik kaca, yang biasanya digunakan sebagai wadah bumbu merica. "Dulunya pakai tupperware, meski suaranya konstan, karena tidak dilengkapi piezo," tutur Memet mengungkap tahapan temuannya itu.

API, yang secara teknis komponennya lebih sempurna dibandingkan dengan alat sebelumnya itu, menghasilkan lengkingan frekuensi suara 10 kHz- 150 kHz dan jangkauan daya bias lampu mencapai 200-500 meter pada malam hari. Dari hasil uji coba alat yang dimasukkan pada kedalaman laut dua-tiga meter di perairan Batu Nampar, Lombok Timur, diketahui bahwa yang memburu suara dan sinar itu adalah udang lobster, ikan layar dan kapas, kepiting, serta ikan-ikan kecil.

API itu digantungkan pada jaring angkat yang diletakkan sekitar 6-10 meter kedalaman laut. Sekitar 15-30 menit setelah alat diaktifkan, kawanan ikan berdatangan, jaring pun diangkat pelan-pelan, sehingga ikan itu kena serok. Malah dengan frekuensi 45 kHz- 90 kHz, alat tersebut dikatakan mampu memanggil ikan sepanjang satu jengkal dan selebar lima jari orang dewasa.

Memet menciptakan temuannya itu setelah terinspirasi oleh tayangan televisi yang menyiarkan beragam temuan teknologi, seperti bagaimana memanggil anjing dan kelelawar dengan memakai frekuensi ultrasonik. "Anjing pelacak bisa dipanggil dengan peluit yang bila ditiup tidak terdengar kuping manusia karena frekuensinya di bawah 30 kHz. Batas frekuensi yang tertangkap genderang telinga manusia maksimal-minimal 30 kHz," ucapnya. Sedangkan "memanggil-mengusir tikus dan nyamuk, saya ketahui dari buku ilmiah," ujarnya lagi. Memet yang saat itu masih kelas I Sekolah Teknik Menengah (STM) Wiraswasta Cimahi, Bandung, Jawa Barat, tergugah. "Jika binatang bisa dipanggil, mengapa pola yang sama tidak diterapkan pula pada ikan?" ucapnya.

Anak pertama dari empat bersaudara pasangan Lalu Kartawinata (almarhum)-Neneng Herawati ini lalu memulai proses kreatifnya. Dia lantas membeli radio, amplifier, dan televisi rongsokan di pasar loak yang harganya rata-rata Rp 1.500-Rp 5.000 per unit, dengan menyisihkan jatah uang jajannya. Barang elektronik itu dibongkar, komponennya yang masih layak pakai dirakit lagi.

Dia juga mempelajari perilaku ikan yang gemar mengejar dan mengelompok pada plankton yang mengeluarkan cahaya berkedap-kedip di malam hari, sehingga "di mana ada sinar, di situ biasanya banyak ikan. Dan, sebagai pengganti cahaya plankton, saya gunakan lampu led super yang kilatannya 500 meter per 0,5 detik sampai satu detik di dalam air, seperti kilatan lampu blitz," tuturnya.

Setelah setahun berkutat dengan peranti elektronik, Memet berhasil merakit alat yang diinginkan saat di kelas II. "Tinggal di mana alat ini saya uji coba," tuturnya.

Beruntung dia punya teman yang berasal dari Desa Cihampelas, Kecamatan Cililin, Bandung, yang memiliki beberapa petak kolam ikan air tawar. Memet diizinkan menggunakan dua petak kolam. Kolam pertama diisi ikan, kolam kedua tanpa ikan, hanya berisi air yang disalurkan melalui saluran dari kolam pertama. Alat ciptaannya itu dicelupkan ke kolam yang kosong ikan, dan sekitar 15 menit kemudian ikan di kolam pertama menyerbu kolam kedua melalui saluran tadi.

Memet tampaknya belum puas bila alat itu cuma digunakan di kolam di darat. Dia ingin agar 'API'-nya dapat dimanfaatkan dalam skala yang lebih luas, yaitu di laut, guna membantu para nelayan. Niat itu dilatarbelakangi oleh "wilayah negara kita sebagian besar berupa kepulauan", juga kehidupan nelayan yang serba susah, sementara hasil tangkapannya sebatas untuk membiayai hidup satu-dua hari.

Saking terdesak oleh tuntutan hidup, tidak sedikit nelayan yang berpikir pendek, seperti meracik bahan tertentu kemudian dipakai untuk ngebom, atau memakai potasium. Pola seperti itu menjadikan ekologi dan ekosistem laut rusak.

Hanya saja, niat Memet tak begitu saja kesampaian. Selain dia tak punya biaya, tempat tinggalnya di Bandung relatif jauh dari laut. "Kita baru ketemu laut empat jam perjalanan dari Bandung," ujarnya. Baginya, Bandung kurang memungkinkan untuk mengimplementasikan alatnya itu.

Akhirnya, setelah tamat STM, Memet pulang ke tanah kelahirannya di Lombok, tinggal di rumah bibinya di Jalan Gunung Kawi, Mataram. Lombok, atau Nusa Tenggara Barat (NTB), yang secara geografis sebagian besar wilayahnya berupa laut, memberi peluang besar baginya untuk memasyarakatkan temuannya itu.

"Di Lombok, jalan dalam hitungan menit, kita sudah sampai laut," katanya. Betapapun, dia harus bekerja keras mencari kawan dan relasi untuk memperkenalkan temuan dan pengakuan dari banyak kalangan. Awal tahun 2002, dia mengajukan proposal ke Kantor Bappeda NTB, dengan harapan lembaga ini mau membiayai penelitian dan temuannya.

Tanggapan instansi itu positif dan dia diminta menunggu kabar lebih lanjut. Seraya menunggu kepastian, Memet mengajukan proposal yang sama ke Kantor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB, yang kemudian merekrutnya sebagai tenaga kontrakan. Masa kontraknya berakhir Desember 2002. Melalui balai inilah Memet punya banyak kesempatan mewujudkan cita-cita membuat temuannya.

Memang, teknologi sederhana itu belum bisa digunakan secara massal kendati dari aspek efektivitasnya dinilai sudah layak. "Sebagai produk massal, kan, saya butuh detailnya. Misalnya, bila frekuensinya segini, jenis ikan apa yang mendekat," katanya.

Memet yang lahir 1 Maret 1979 di Mataram merasa yakin, perusahaan di Tanah Air mampu memproduksi tabung-salah satu komponen yang sangat ia butuhkan-dengan mutu yang diperlukan untuk API-nya.

Ia mengharapkan teknologi sederhana itu dapat diproduksi secara massal, apalagi setelah ditotal, harga per unitnya dinilainya tidak terlalu mahal, sekitar Rp 200.000-Rp 250.000, sehingga dapat terjangkau para nelayan di Tanah Air yang kemampuannya sangat terbatas. Dengan alat ini, nantinya, pola penangkapan ikan secara destruktif bisa ditekan.

Memet kini bangga, sebab dari API, dia termasuk dalam 11 orang yang mendapat "Anugerah Teknologi Terapan" dari Pemerintah Provinsi NTB dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun NTB pada 17 Desember 2002. Namun, penghargaan itu bukanlah tujuan akhirnya.

Tahap berikutnya, "bagaimana para nelayan bisa membawa pulang ikan dengan menggunakan alat yang saya buat", adalah cita-cita Memet, yang, meskipun masih dalam usia muda, mau memikirkan kehidupan rakyat kecil. (Khaerul Anwar)

Sumber: Harian Kompas, 19 Desember 2002.

ANAK BANGSA BERKIPRAH DALAM DUNIA PENEMUAN
READ MORE - Lalu Selamat Martadinata - Penemu Alat Pemanggil Ikan

I Made Budi - Penemu Formula Sari Buah Merah untuk Pengobatan

I MADE BUDI - Penemu Formula Sari Buah Merah untuk Pengobatan

Secercah harapan bagi penderita HIV/AIDS untuk sembuh muncul dari pulau paling timur Indonesia, Papua. Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lum.) yang diduga hanya tumbuh di pulau tersebut, tampaknya bisa diprediksi sebagai obat penangkal virus yang menyerang kekebalan tubuh.

Drs. I Made Budi, MS menceritakan tentang pengalamannya menggunakan Sari Buah Merah terhadap seorang pengidap HIV/AIDS. Berat badannya semula 27 kg, karena terserang virus yang belum ada obatnya itu, namun setelah mengonsumsi Sari Buah Merah, naik menjadi 42 kg. Awalnya, orang yang mengidap HIV/AIDS itu dibawa oleh Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua kepada I made Budi yang sedang meneliti buah itu. YPKM Papua yang mengetahui adanya Sari Buah Merah yang dapat merekondisi kesehatan penderita HIV/AIDS meminta I Made Budi untuk membuatkan dan meminumkannya kepada si pengidap HIV/AIDS. Setelah beberapa lama meminum Sari Buah Merah, ternyata ia merasa lebih baik. Gejala diare berat dan sariawan yang muncul jika mengidap HIV/AIDS hilang. Ia merasa segar dan bisa melakukan kegiatan sehari-hari, bak orang sehat kembali.

Sari Buah Merah yang disebut Kuansu oleh penduduk setempat menjadi fokus penelitiannya untuk obat secara tidak sengaja. Awalnya, lanjut Made, Buah Merah itu diambil oleh masyarakat Wamena hanya sebagai bahan makanan. Dosen Universitas Cendrawasih itu mengamati secara seksama kebiasaan masyarakat tersebut yang mengonsumsi buah merah itu, ternyata masyarakat sekitar jarang terkena penyakit berat seperti hepatitis, kanker, jantung, hipertensi dan termasuk HIV/AIDS. " Saat itu saya menduga, jarangnya penyakit yang diderita masyarakat Wamena pasti berhubungan dengan buah itu," ujar Made.

Setelah meneliti beberapa lama, ternyata Buah Merah itu banyak mengandung Antioksidan, Betakarotin, Omega 3 dan 9, serta banyak zat lain yang meningkatkan daya tahan tubuh. "Kemudian saya melakukan percobaan kepada 30 unggas karena virus penyakit yang berbahaya tersebut juga ditemukan sudah menyerang unggas," ujar Made yang menyelesaikan S2 bidang gizi masyarakat di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Semula ahli gizi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) itu hanya ingin mengungkap kandungan gizi buah tersebut, namun akhirnya ia mencoba juga meneliti, apakah bisa untuk menangkal HIV/AIDS. Ternyata dari hasil analisis, kandungan kimiawi Buah Merah itu dapat yang mengilhami Made untuk menjadikan sebagai obat. Buah Merah itu mengandung zat gizi bermanfaat dalam kadar tinggi. Di antaranya Betakaroten, Tokoferol, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dan dekanoat. Semuanya merupakan senyawa obat aktif.

Betakaroten berfungsi memperlambat berlangsungnya penumpukan flek pada arteri. Jadi aliran darah ke jantung dan otak berlangsung tanpa sumbatan. Interaksinya dengan protein meningkatkan produksi antibodi. Ini meningkatkan jumlah sel pembunuh alami dan memperbanyak aktifitas sel T Helpers dan limposit. Suatu studi membuktikan konsumsi betakaroten 30 - 60mg/hari selama 2 bulan membuat tubuh memiliki sel-sel pembunuh alami terbanyak. Bertambahnya sel-sel pembunuh alami itu menekan kehadiran sel-sel kanker. Mereka ampuh menetralisir radikal bebas senyawa karsinogen, penyebab kanker.

Peran Buah Merah lainnya yaitu sebagai antikarsinogen yang makin lengkap dengan kehadiran tokoferol. Senyawa ini berperan dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh yang menjadi sasaran HIV/ AIDS.

Buah Merah yang mengandung Omega 3 dan 9 dalam dosis tinggi itu sebagai asam lemak tak jenuh yang gampang dicerna dan diserap sehingga memperlancar metabolisme. Lancarnya metabolisme sangat membantu proses penyembuhan. Sebab, tubuh mendapat asupan protein yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh.

Asam lemak yang dikandung buah merah juga merupakan antibiotik dan antivirus. Mereka aktif melemahkan dan meluruhkan membran lipida virus serta mematikannya. Bahkan virus tidak diberi kesempatan untuk membangun struktur baru sehingga tak bisa melakukan regenerasi. Karena kemampuan itu, ia efektif menghambat dan membunuh beragam strain HIV/AIDS, termasuk virus hepatitis yang merusak sel hati. Ia juga terbukti menghambat dan membunuh sel-sel tumor aktif.

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, 6 Desember 2004.

ANAK BANGSA BERKIPRAH DALAM DUNIA PENEMUAN
READ MORE - I Made Budi - Penemu Formula Sari Buah Merah untuk Pengobatan

I Gede Ngurah Wididana - Penemu Formula Minyak Oles Bokhasi


I GEDE NGURAH WIDIDANA - Penemu Formula Minyak Oles Bokashi

Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr dalam pengembangan Teknologi EM di Indonesia, Khususnya di bidang kesehatan adalah membuat ramuan yang amat terkenal yaitu MINYAK OLES BOKASHI. Ramuan serbaguna yang terbuat dari campuran beberapa tanaman berkhasiat obat yang difermentasi dan diekstrak dengan teknologi EM. Maka G.N. Wididana dikenal dengan nama "Pak Oles" dan ramuannya dikenal oleh masyarakat luas sebagai "Ramuan Pak Oles".

Persentuhan Wididana dengan obat-obatan alternatif berbasis teknologi effective micro-organism (EM), yang kemudian menjadi bisnis inti, memang bukan suatu kebetulan. Artinya, bidang yang biasanya dihubungkan dengan wangsit dan klenik itu tidak ditempuhnya lewat jalur supranatural. Wididana menempuh jalan ilmiah. Ini dimulainya pada 1980-an ketika dia memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali. Ketika tamat pada 1985, dia tak lantas mencari pekerjaan di instansi pemerintah atau perusahaan besar. Kelahiran Busung Biu, Buleleng, Bali, 9 Agustus 1961 ini langsung mengabdikan ilmunya di sawah, alias menjadi petani. Dia menyewa tanah seluas 2 hektare di lereng Gunung Batur, di tepi Danau Batur yang terletak di daerah wisata Kintamani. Di daerah yang dingin dan tak terjamah aliran listrik itu dia menanam aneka sayuran.

Toh, itu tak membuat Wididana terisolasi dari kegiatan ilmiah. Di sela-sela kesibukannnya sebagai petani, dia mencari hiburan dengan bertandang ke Balai Seni Toyabungkah, milik Sutan Takdir Alisyahbana (STA), yang letaknya tidak seberapa jauh dari kebun sayurnya. Anak desa itu kemudian ditawari STA bergabung di laboratorium lapangan Fakultas Pertanian Universitas Nasional. Begitulah, Wididana kemudian pindah ke Jakarta, meninggalkan kebunnya yang baru setahun dikelola, untuk mengurus kebun orang. Setahun kemudian pria berpenampilan sederhana itu mendapat beasiswa dari Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang. Di Negeri Sakura dia berkesempatan belajar langsung dari Prof. Dr. Teruo Higa, penemu teknologi EM. Menurut Wididana, teknologi EM baru ditemukan tahun 1980, untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia di bidang pertanian dan kesehatan yang mulai berlebihan.

Ketika kembali ke Jakarta pada 1990, Wididana yang bergelar Master of Agriculture bidang holtikultura langsung menjadi Dosen dan Kepala Laboratorium Fakultas Pertanian Unas. Dia sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang memperkenalkan teknologi EM. Di Unas, dia cuma bertahan empat tahun. Pada 1994 dia kembali ke Desa Bengkel, Busung Biu, Buleleng. Di tanah kelahirannya itu, dia berkonsentrasi membesarkan PT Songgolangit Persada. Perusahaan ini memasarkan pupuk organik yang diolah dari sampah rumah tangga.

Selain itu, Wididana juga mendirikan Yayasan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA). Dia melengkapi IPSA dengan kebun seluas 7 ha sebagai sarana menerapkan teknologi EM. Lahan ini ditanami 135 jenis tanaman obat dan sepenuhnya dijalankan dengan metode EM. Itu tak berarti jalan telah terbuka buat teknologi EM yang dibawanya dari Jepang. Para petani yang terbiasa menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan hasil panen, ogah mencobanya. Dukungan pemerintah juga tak dia dapatkan. Ilmu yang dia dapat dari Prof. Teruo kemudian digabungnya dengan usadha (pengobatan tradisional Bali). Penelitiannya yang tak kenal lelah akhirnya menghasilkan ramuan multimanfaat pada 1998. Ramuan itu diberi nama Minyak Oles Bokashi, dikemas dalam botol 10 dan 40 ml dengan harga Rp 10 ribu dan Rp 40 ribu. “Bokashi” diambil dari bahasa Jepang yang berarti fermentasi. Ini sesuai dengan teknologi EM yang dipergunakan untuk menemukan ramuannya hingga menghasilkan minyak. Sementara itu, kata “oles” dipilih karena penggunaannya dilakukan dengan cara mengoles laiknya teknik pengobatan tradisional Bali. Selain itu, “oles”, menurut Wididana, merupakan singkatan dari organik lestari sehat sejahtera.

Produk bokashi oles itu kemudian dipasarkan Wididana kepada para petani di desanya dari pintu ke pintu. Usahanya yang tak kenal lelah akhirnya membuahkan hasil. Pasar mulai melirik produk bokashi organik olesnya dengan peningkatan signifikan dari waktu ke waktu. Melihat produknya mulai mendapat sambutan positif di pasar, Wididana akhirnya memutuskan memproduksi temuannya secara massal. Begitulah, pada 2000, dengan modal Rp 20 juta dan dibantu lima karyawan, dia mendirikan pabrik pupuk bokashi di Desa Bengkel, Buleleng. Produk pertamanya, pupuk organik bokashi. Kendaraan yang dipakainya adalah PT Karya Pak Oles Tokcer.

Sukses ini berakibat hilangnya nama Wididana dari dunia bisnis yang dirintisnya. Orang lebih mengenalnya sebagai Pak Oles. Wididana sendiri tidak keberatan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Baginya, yang penting orang bisa disadarkan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Apalagi, sebutan itu membuat produknya makin cepat dikenal dan laris di pasar. Ini terbukti dengan semakin bervariasinya produk Pak Oles. Selain Minyak Bokashi Oles, sekadar menyebut sebagian, ada minyak oles untuk gatal-gatal, pegal, keseleo, linu, perut kembung bayi, cacingan, melancarkan peredaran darah, rematik, sampai penambah “greng” pria, minyak kayu putih, dan minyak sajas (khusus hewan). Lalu, madu (7 jenis), parem (2 macam), anggur (2 macam), balsem, krim kecantikan, penambah awet muda, serta minyak oles relaksasi untuk spa dan EM keramik.

Tak berhenti sampai di situ. Untuk keseimbangan lingkungan, Pak Oles juga meluncurkan Ecocity-1 untuk membersihkan lantai hingga menghilangkan bau pengap. Ini juga bisa dipakai buat memandikan hewan piaraan serta mencuci mobil. Lalu, ada produk yang diberi nama EM-4 untuk pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan pengolahan limbah; EM Toilet untuk menghilangkan bau tak sedap dari limbah WC; Sarula-3 untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil pertanian; dan Saferto-5 untuk mencegah serangan hama. Dalam waktu tak terlalu lama, variasi produknya sudah mencapai 24 jenis. Ini membuat pabriknya di Desa Bengkel tak sanggup lagi memenuhi permintaan pasar. Pak Oles lalu menambah satu pabrik lagi di Denpasar, sekaligus mendekati konsumennya. Meski telah memiliki dua pabrik, semua produknya tetap dipasarkan di bawah payung besar PT Karya Pak Oles Tokcer.

Kesibukan Wididana yang terus bertambah, baik di perusahaannya yang terus berkembang maupun di yayasan, tak membuat kreativitasnya mandek. Tahun 2001 dia malah menemukan alat yang disebutnya spontan power. Alat ini dikaitkan di mesin mobil atau motor untuk menghemat energi, menambah tenaga, memperpanjang umur mesin, memperhalus suara mesin, dan, yang terpenting, untuk menekan polusi udara. Harga yang ditawarkan Rp 70 ribu untuk spontan power motor dan Rp 400 ribu untuk mobil. Pemasaran produknya, selain door-to-door, kini juga menggunakan gerai modern lewat apotek dengan sistem beli putus. Pemasarannya tidak lagi terbatas di Bali, tapi sudah menjangkau Jakarta, dan kota-kota besar di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi dan Sumatera. Ekspornya, meski belum banyak, sudah menjangkau Jepang, Malaysia, Thailand, Korea, AS, Australia, Austria, dan beberapa negara Timur Tengah. Omset Pak Oles mencapai Rp 3 miliar/bulan atau Rp 36 miliar/tahun, separuhnya disumbang Minyak Oles Bokashi. Produk bokashi pertanian rata-rata menyumbang Rp 300 juta/bulan, sedangkan spontan power yang diluncurkan pada 2001 menyumbang Rp 20 juta/bulan. Total karyawan Pak Oles kini sekitar 1.800 orang.

Bila tak ada aral melintang, Wididana boleh jadi akan menjelma menjadi konglomerat baru di Indonesia yang masuk lewat pintu alternatif. Ahli hama dan penyakit tanaman berumur 43 tahun itu kini memasuki bisnis resto dengan membuka rumah makan di Denpasar yang diberi nama Warung Organik Pak Oles Fish & Vegetables. Di sini disediakan berbagai masakan yang bebas bahan kimia. Dia juga membuka dua klinik pijat dan penyembuhan Bali ala Pak Oles, diberi nama Usadha Oles. Klinik ini melayani pijat relaksasi, pijat osteopati (kepala dan tulang belakang), pijat sirkulasi, pijat refleksi, pijat alternatif patah tulang, dan bokashi therapy - pengobatan dengan panas bokashi.

Paparan di atas dengan gamblang menunjukkan keuletan pria Bali yang satu ini. Dia bergerak bak meteor di bidang yang dikuasainya betul. Rantai bisnisnya, meski kelihatan setengah main-main, dibangun serius dari hulu ke hilir. Penyandang gelar Doktor dari American Institute Management Studies, Hawaii (1999), ini memproduksi sendiri bahan baku yang dibutuhkan pabriknya. Sejak dulu Pak Oles yakin, bila teknologi dan manajemen digabungkan, akan menghasilkan industri. Bila industri tersebut mendapat dukungan informasi yang akurat, akan menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar. Keyakinan ini kemudian dirumuskan Pak Oles menjadi SIMT (sistem informasi manajemen dan teknologi) yang dipakainya untuk membangun jaringan bisnis. Usahanya, menurut Pak Oles, dibangun secara konservatif alias menghindari utang. "Saya tidak ingin besar tapi dibebani utang," katanya terus terang. "Itu sebabnya, saya tidak mau gegabah menambah kapasitas produksi, sebelum ada kepastian bahwa produk itu akan diserap pasar," ia menambahkan.

Wididana tak punya jawaban pasti ketika ditanya soal kunci suksesnya. "Dalam bisnis, yang penting keberanian menangkap peluang dan jangan sekali-kali masuk ke medan atau usaha yang tidak kita kuasai," katanya hati-hati. "Lalu, harus dikelola dengan manajemen yang profesional. Tanpa itu, semuanya bisa jadi nol," ujarnya tegas. Wididana mengaku sangat berterima kasih kepada istrinya, Komang Dyah Stuti, dan empat putranya yang mendukung kreativitasnya. Juga, kepada 1.800 karyawannya di seluruh Indonesia. Tanpa dukungan mereka, dia menandaskan, tak mungkin Pak Oles Tokcer bisa berkembang. Tahun ini dia menargetkan meraup penjualan di atas Rp 40 miliar.

Sumber: Majalah SwaSembada, 18 Maret 2004.

ANAK BANGSA BERKIPRAH DALAM DUNIA PENEMUAN
READ MORE - I Gede Ngurah Wididana - Penemu Formula Minyak Oles Bokhasi

Herman Johannes - Penemu Tungku Berbahan Bakar Briket Arang Kayu dan Dedaunan


HERMAN JOHANNES - Penemu Tungku Berbahan Bakar Briket Arang Kayu dan Dedaunan

Benda itu mengusung nama B3. Tapi ia bukan limbah beracun dan berbahaya. Justru banyak guna serta ramah lingkungan. Itulah tungku B3 (biomassa, bioarang dan biogas) temuan Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (1961-1966). Bahan bakarnya briket arang dari potongan kayu dan dedaunan. Tapi apinya panas sekali, tak kalah dengan kompor gas.

Tungku B3 dikembangkan oleh ayah presenter berita Helmi Johannes ini pada awal 1980-an. Herman --meninggal pada 1992 dalam usia 79 tahun—berprinsip, apapun yang dikembangkan harus membantu ekonomi kecil. “Pemikirannya sederhana, bagaimana rakyat kecil tidak keluar uang untuk membeli minyak tanah sebagai bahan bakar”, kata Robby, menantu sekaligus asisten Herman.

Nah, jadilah Herman, mantan Menteri Pekerjaan Umum (1950-1951) ini, berkutat mengembangkan bahan bakar murah dan tidak merusak lingkungan. Ayah empat anak yang hidup sederhana itu mengumpulkan limbah organik seperti potongan kayu, ranting, daun-daunan, batang jagung dan alang-alang. Bahan eceng gondok pun jadi. Inilah yang ia sebut biomassa. Setelah itu dilakukan proses pirolisis, yaitu pembakaran tanpa udara.

Pembakaran dilakukan dalam drum dengan membuat lubang kecil untuk mengeluarkan asap. Jika asap hitam keluar, berarti bahan-bahan tersebut telah menjadi karbon atau disebut bioarang. Bioarang ditumbuk dan dibentuk sesuai cetakannya, bisa kaleng biskuit atau anglo.

Tumbukan bioarang dipadatkan, bagian tengah dibuat lubang berbentuk silinder. Diameternya kira-kira 10 sentimeter. Briket arang tersebut siap digunakan. Caranya, dibakar di bagian tengah. Apinya tanpa asap! Sebab, asapnya turut menjadi bahan bakar. Apa yang dihasilkan inilah yang disebut biogas. Tungku B3 tak hanya bisa mengurangi ketergantungan rakyat pada minyak, juga sungguh ramah lingkungan. Tak perlu menebang pohon untuk mendapatkan biomassa.

Sumber: Majalah Gatra, Agustus 2004.

ANAK BANGSA BERKIPRAH DALAM DUNIA PENEMUAN
READ MORE - Herman Johannes - Penemu Tungku Berbahan Bakar Briket Arang Kayu dan Dedaunan